Lonjakan permintaan global terhadap matcha sejak tahun lalu telah menciptakan kelangkaan pasokan yang signifikan, terutama untuk jenis “first flush” yang berasal dari panen pertama daun teh Camellia sinensis. Perusahaan-perusahaan teh ternama di Kyoto seperti Ippodo dan Marukyu Koyamaen bahkan terpaksa memberlakukan pembatasan pembelian. Kelangkaan ini tidak hanya dirasakan oleh konsumen internasional, tetapi juga oleh masyarakat lokal di Jepang, di mana produk matcha tertentu seringkali habis terjual.
Permintaan yang tinggi ini tidak hanya terbatas pada matcha premium “first flush” yang dulunya eksklusif untuk upacara teh, namun juga meluas ke jenis matcha lainnya. Produsen teh seperti Kametani Tea dari Prefektur Nara bahkan harus meningkatkan produksi hingga 10% setiap tahun sejak 2019 untuk dapat memenuhi permintaan pasar global yang terus meningkat. Jason Eng dari Kametani Tea mengungkapkan bahwa mereka harus bekerja lembur, termasuk di akhir pekan, namun tetap merasa kewalahan menghadapi tekanan permintaan yang begitu besar.
Peningkatan popularitas matcha secara global ini dipicu oleh meningkatnya kesadaran akan gaya hidup sehat pasca-pandemi, di mana matcha dikenal kaya akan antioksidan dan memberikan energi yang stabil. Selain itu, konten media sosial yang menampilkan berbagai resep dan manfaat matcha, seperti matcha latte, turut berperan besar dalam memperkenalkan dan mempopulerkan minuman ini di wilayah-wilayah baru seperti Timur Tengah dan Afrika. Meskipun panen tahun 2025 diharapkan dapat sedikit meredakan situasi kelangkaan, para ahli industri teh Jepang memprediksi bahwa tren peningkatan konsumsi matcha global akan terus berlanjut, sehingga memerlukan adaptasi dan perubahan yang signifikan dalam industri teh Jepang untuk jangka panjang.